Sebelumnya kami mohon maaf atas penayangan materi
"Fikih Puasa" terdahulu tanpa memperinci istilah Qadla dan Kafarah.
Sehingga agak membingungkan sebagaian pembaca.
Qadla adalah Kewajiban mengerjakan salah satu perintah agama namun tidak bisa
dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan karena berbagai halangan.
Contoh: Puasa Ramadhan dan Salat
Kafarah adalah Denda bagi orang yang melanggar kewajiban agama dengan
ketetapan yang telah ditentukan (ketentuan kafarah yang berkaitan puasa akan
diterangkan lebih lanjut) -editor.
--------
C. Menurut Madzhab Syafi`i:
Umum
Sedikit catatan mengenai batalnya puasa seseorang menurut Syafi`iyah, yaitu:
Pertama: Orang yang lupa, (di-)terpaksa, atau tidak tahu bahwa hal-hal
tersebut bisa membatalkan puasa, maka puasanya tidak batal -meski yang
dimakan itu banyak atau sedikit. Jadi kriteria batal menurut Syafi`iyah
adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa tersebut.
Kedua: Orang yang batal puasa tanpa udzur (halangan) harus tetap meneruskan
puasanya hingga waktu buka.
Perihal Batalnya Puasa Dan Hanya Wajib Qadla
Ada beberapa hal yang membatalkan puasa dengan konsekuensi qadla` saja tanpa
berkewajiban membayar kafarah, yaitu:
- Masuknya satu benda atau dzat ke dalam perut dari
lobang terbuka seperti mulut, hidung, lobang penis, anus dan bekas
infus, baik sesedikit/sekecil apapun, seperti semut merah; ataupun benda
tersebut yang tidak biasa dimakan seperti debu atau kerikil.
Masuk dalam kategori ini juga :
- Sengaja mencium bau renyah daging goreng;
- Menghirup obat pelega pernafaan (semacam vicks atau
mint) ket ika seseorang merasa sesak nafas;
- Menelan kembali ludah yang sudah berceceran dari
pusat kelenjar penghasil ludah. Seperti menelan kembali ludah yang
sudah keluar dari mulutnya (dihukumi sebagai benda luar); atau
seseorang membasahi benang dengan ludahnya kemudian mengembalikan
benang yang basah (oleh ludahnya tersebut) ke dalam mulutnya dan hasil
ludah tersebut ditelannya lagi; atau menelan ludah yang sudah bercampur
dengan benda lain -lebih-lebih benda yang terkena najis.
- Mempermainkan ludah di antara gigi-gigi, sementara
ia bisa memuntahkannya.
- Menelan sisa-sisa makanan yang menempel di antara
gigi-gigi meski sedikit, sementara ia sebenarnya bisa memisahkannya
tanpa harus menelannya.
- Menelan dahak yang sudah sampai ke batas luar mulut.
Namun jika kesulitan memuntahkannya maka tidak apa-apa;
- Masuknya air madlmadlah (air kumur) atau air
istinsyaq (air untuk membersihkan hidung) ketika wudlu hingga melwati
tenggorokan atau kerongkongan karena berlebih-lebihan dalam
melakukannya.
- Muntah dengan sengaja walaupun ia yakin bahwa
muntahan tersebut tidak ada yang kembali ke perut.
- Ejakulasi ekster-coitus (Istimna) seperti onani
--baik dengan tangan sendiri maupun bantuan isterinya--, atau mani
tersebut keluar disebabkan sentuhan, ciuman, maupun melakukan petting
(bercumbu tanpa senggama) tanpa penghalang (bersentuhan kulit dengan
kulit). Hal-hal tersebut membatalkan puasa karena interaksi secara
langsung menyentuh kelamin hingga menyebabkan ejakulasi. Adapun jika
seorang keluar mani karena imajinasi sensual, melihat sesuatu dengan
syahwat, melakukan petting tanpa sentuhan kulit dengan kulit (masih
dihalangi kain), maka tidak apa-apa, karena interaksi tersebut tidak
secara langsung menyentuh kelamin hingga menyebabkan ejakulasi. Dan
hukumnya disamakan dengan mimpi basah. Namun jika hal itu dilakukan
berulang-ulang maka puasanya batal, meskipun tidak ejakulasi.
- Jelas-jelas keliru makan pada siang hari, karena
sudah terbitnya fajar atau belum terbenamnya matahari. Jika ia berbuka
puasa dengan sebuah ijtihad yaitu membaca keberadaan awan
kemerah-merahan (sabagai tanda waktu buka) atau yang lain, seperti cara
menentukan waktu sholat (secara astronomis), maka dibolehkan atau sah
puasanya.Namun, untuk kehati-hatian, hindari makan di penghujung hari
(berbuka) kecuali dengan keyakinan sudah saatnya berbuka. Juga
dibolehkan makan di penghujung malam (waktu sahur) jika ia menyangka
masih ada waktu meski sebenarnya waktu fajar sudah tiba dan dimulutnya
masih ada makanan maka sah puasanya. Sebab dasar hukum itu berangkat
dari keyakinan awal yaitu belum terbit fajar. Akan tetapi jika sudah
jelas-jelas ia mengetahui terbitnya fajar (imsak) sementara di mulutnya
masih ada makanan kemudian ia langsung memuntahkan makanan tersebut maka
tidak apa-apa, namun jika masih asyik memakannya maka puasanya batal.
- Datang bulan (haid), nifas, gila, dan murtad. Sebab
kembali pada syarat-syarat sahnya puasa yaitu sehat akal (Akil), masuk
ke jenjang dewasa (baligh), muslim, dan suci dari haid dan nifas. Dengan
demikian batalnya puasa tersebut karena tidak memenuhi persyaratan
tersebut diatas.
D. Menurut Madzhab Hanbali, antara lain:
- Masuknya satu benda (materi) ke dalam perut atau
pembuluh nadi dari lobang/rongga badan dengan unsur kesengajaan dan
sebagai alternatif, sementara ia masih ingat betul bahwa dirinya sedang
puasa -meski ia tidak tahu hal tersebut membatalkan-. Baik benda tersebut
bisa dimakan seperti makanan dan minuman, atau tidak, seperti kerikil,
dahak, tembakau kinang, obat, pelumas yang sampai ke tenggorokan atau
otak, selang yang dimasuk lewat anus, atau merokok.
CATATAN: Seperti Syafi`I, Imam Hanbali mensyaratkan adanya unsur
kesengajaan dalam hal batalnya puasa. Jika seseorang lupa, keliru, atau
ter/di paksa melakukan hal-hal yang membatalkan puasa maka tidak apa-apa.
- memakai celak mata hingga dzat celak tersebut sampai
tenggorokan. Jika tidak sampai ke sana, maka tidak apa-apa;. Rasulullah
bersabda, "Berhatilah-hatilah orang yang puasa dengannya
(celak)".
- Muntah dengan sengaja --baik muntahan itu berupa
makanan, ataupun muntahan yang sudah pahit, lendir, darah dan
lain-lain-- meski sedikit sekalipun. Rasulullah bersabda, "Barang
siapa terpaksa harus muntah maka ia tidak perlu mengulang puasanya, dan
barang siapa muntah dengan sengaja maka ia wajib qadla`".
- Berbekam. Baik subyek maupun obyek disini dianggap
batal puasanya jika benar-benar terlihat darah. Rasul bersabda,
"membatalkan (puasa) pelaku dan obyek bekam". Namun jika tidak
sampai kelihatan maka tidak apa-apa.
- Berciuman, onani, bersentuhan, bersetubuh tanpa
penetrasi (persenggamaan) -baik yang keluar mani atau madzi-. Begitujuga
Keseringan menonton obyek sensual hingga keluar mani bukan madzi;
- Murtad secara mutlak, karena firman Allah swt.:
"Jika kamu benar-benar musyrik, maka amal kamu akan benar-benar
terhapus".
- Meninggal dalam keadaan puasa wajib maka ahli waris
harus mengqadla puasa untuk hari kematiaannya. Namun jika pada hari
kematiaanya, ia dalam keadaan menjalankan puasa nazar atau kafarah, maka
ahli waris hanya memberi makan orang miskin (tidak perlu mengqadla).
- Jelas-jelas salah makan di siang hari.
Jika ada keraguan bahwa matahari sudah terbenam kemudian
ia berbuka (seperti halnya ia berbuka namun ia masih menyangka matahari belum
terbenam dan memang kenyataan matahari belum terbenam) maka batal puasa dan
harus mengqadla.
Termasuk batal dan wajib qadla juga, jika seseorang makan
karena lupa, kemudian ia menyangka dirinya sudah batal sehingga ia meneruskan
makan dengan sengaja.
(bersambung)
==================
Dirangkum dari buku: THE ISLAMIC JURISPRUDENCE AND ITS EVIDENCES, Jilid III,
karya Prof. Dr. Wahbah Al Zuhaily. (Tim penerjemah: Hendra Suherman, Eva
Fachrunnisa, Ali Mu'in Amnur, dan Zaimatussa'diyah)
Dikutip dari :http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1030:fikih-puasa-5-hal-hal-yang-membatalkan-puasa-yang-hanya-mewajibkan-qadla-tidak-kafarat-lanjuta&catid=14:fikih-siyam&Itemid=63
|